Kurikulum Berbasis Cinta: Revolusi atau Sekadar Jargon Keren Kemenag?

Yana Karyana

(Pemerhati Sosial Pendidikan Tinggal di Kota Tangerang)

Selamat datang di Tahun Ajaran Baru 2025/2026, di mana Kementerian Agama di bawah Nakhoda Nasaruddin Umar mengguncang dunia pendidikan madrasah dengan Kurikulum Berbasis Cinta. Bukan sekadar nama yang manis, kurikulum ini digadang-gadang sebagai terobosan besar untuk menyeret madrasah keluar dari bayang-bayang mediokritas.

Tapi, benarkah ini revolusi pendidikan yang kita nanti, atau cuma jargon bombastis yang bakal lenyap begitu rezim berganti? Mari kita bedah visi ambisius ini dengan pisau kritis.

Gagasan Besar Nasaruddin Umar: Kurikulum Berbasis Cinta sebagai Jantung Pendidikan

Menang KH Nasaruddin Umar, dengan keberanian yang patut diacungi jempol, meletakkan “cinta” sebagai inti kurikulum baru ini. Bukan cinta ala sinetron, tetapi kasih sayang yang merangkul nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin, empati, keadilan dan kolaborasi.

Kurikulum Berbasis Cinta ingin melahirkan generasi madrasah yang tak cuma pandai menghafal Al-Qur’an atau rumus matematika, tapi juga punya hati yang hidup, mampu berpikir kritis dan siap bersaing di panggung global tanpa kehilangan akar keislaman. Ini adalah pukulan telak terhadap stigma bahwa madrasah hanya melahirkan “hafiz” yang ketinggalan zaman.

Berbeda dari Kurikulum Merdeka yang dianggap kurang menggigit soal identitas keislaman, kurikulum ini menjanjikan perpaduan apik: spiritualitas yang mendalam, intelektualitas yang tajam dan karakter yang humanis. Tapi, jangan buru-buru tepuk tangan. Visi seindah ini butuh lebih dari sekadar kata-kata manusia butuh eksekusi yang tak main-main.

Memperbaiki Madrasah: Dari Janji ke Realitas

Madrasah, yang selama ini sering dipandang sebagai “adik tiri” sekolah umum, kini mendapat sorotan penuh dari Kemenag. Kurikulum Berbasis Cinta hadir dengan sejumlah langkah untuk mengguncang status quo:

1. Nilai Islam yang Hidup:
Lupakan hafalan ayat tanpa makna. Kurikulum ini mendorong siswa memahami Islam secara kontekstual melalui proyek sosial, diskusi dan aksi nyata. Cinta bukan cuma diucapkan, tapi dipraktikkan.

2. Guru sebagai Katalisator:
Kemenag berjanji mempersenjatai guru madrasah dengan pelatihan intensif.

3. Fleksibilitas Lokal:
Kurikulum ini memberi madrasah kebebasan untuk menyesuaikan materi dengan kebutuhan daerah.

4. Jembatan ke Dunia Modern:
Dengan suntikan literasi digital dan keterampilan abad 21, kurikulum ini ingin lulusan madrasah tak cuma jago ngaji, tapi juga mampu coding, berdebat dan bersaing dengan lulusan sekolah internasional.

Keunggulan yang Menggoda, tapi Penuh Tantangan

Kurikulum Berbasis Cinta punya daya tarik yang sulit ditolak:

1. Karakter yang Berpijar:
Dengan cinta sebagai fondasi, kurikulum ini bisa melahirkan generasi yang tak hanya pintar, tapi juga peduli obat mujarab di tengah dunia yang kian intoleran.

2. Holistik dan Relevan:
Pendekatan ini menyatukan hati, pikiran, dan jiwa, menjadikan pendidikan madrasah tak lagi kaku, tapi hidup dan kontekstual.

3. Daya Saing Global:
Integrasi teknologi dan keterampilan modern menjanjikan lulusan yang tak cuma jadi ustadz, tapi juga inovator, pemimpin dan profesional.

4. Inklusivitas:
Dengan fleksibilitas lokal, madrasah di pelosok pun bisa merasa “punya” kurikulum ini.

Tapi, jangan terlena. Implementasi adalah momok terbesar. Madrasah di daerah terpencil masih bergulat dengan minimnya fasilitas, internet yang putus-putus dan guru yang overworked. Perubahan kurikulum yang terlalu sering juga telah membuat banyak pendidik skeptis, apakah ini benar-benar langkah maju, atau cuma proyek sesaat yang bakal tenggelam di laci birokrasi?

Kemenag harus memastikan dukungan nyata: anggaran memadai, pelatihan berkelanjutan dan evaluasi ketat, agar kurikulum ini tak jadi sekadar mimpi indah.

Masa Depan Madrasah di Tangan Kurikulum Berbasis Cinta

Menang KH Nasaruddin Umar telah melemparkan batu besar ke danau pendidikan madrasah. Kurikulum Berbasis Cinta adalah visi berani yang bisa mengubah wajah pendidikan Islam di Indonesia dari institusi yang dipandang sebelah mata menjadi pusat keunggulan yang mencetak pemimpin berhati mulia dan berpikiran tajam. Namun, tanpa komitmen kuat dari semua pihak Insan Kemenag, guru, hingga masyarakat kurikulum ini berisiko jadi slogan kosong yang hanya menghias laporan tahunan.

Tahun ajaran baru ini adalah ujian. Mari kita sambut Kurikulum Berbasis Cinta dengan mata terbuka: penuh harap, tapi tak lupa kritis. Jika dieksekusi dengan benar, kurikulum ini bisa menjadi mercusuar pendidikan Islam, menghasilkan generasi yang tak hanya cerdas, tapi juga membawa rahmat bagi dunia. Tapi, jika gagal, kita hanya akan mengulang siklus kecewa yang sudah terlalu akrab.

Selamat berjuang, madrasah Indonesia semoga Kurikulum Berbasis cinta kali ini bukan cuma kata, tapi nyata!***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *