OBORBANGSA.COM,JAKARTA – Sidang lanjutan kasus tabrak lari yang mengakibatkan korban berinisial S (82) meninggal di Perumahan Taman Grisenda RW 10, Kelurahan Kapuk Muara, Penjaringan dengan terdakwa Ivon Setia Anggara (65) kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara, Selasa (30/9/2025).
Dalam sidang agenda replik atau tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Rakhmat secara tegas menolak nota pembelaan (pledoi) yang diajukan kuasa hukum terdakwa.
“Kami menolak semua pledoi yang diajukan terdakwa maupun penasehat hukum terdakwa,” kata Rakhmat dalam sidang di PN Jakarta Utara.
Menurutnya, berdasarkan fakta persidangan, keterangan saksi dan berita acara pemeriksaan di kepolisian tidak ada yang bertolak belakang.
“Terdakwa lalai dalam berkendara, yang menyebabkan kecelakaan dan menabrak korban hingga luka dan berujung meninggal dunia,” ujar Rakhmat.
Dari keterangan rumah sakit, Rakmat menyebut, korban mengalami pendarahan otak dan luka di kepala serta wajah akibat kecelakaan itu.
Kelalaian itu juga diakui oleh terdakwa Ivon yang berusia lanjut, dan Ivon mengakui baru selesai menjalani operasi katarak, namun tetap mengendarai kendaraan.
“Terdakwa mengaku gelap dan merasakan menabrak sesuatu, lalu berhenti tapi tidak turun, malah melanjutkan perjalanan ke toko miliknya,” ungkap Rakhmat.
Sementara anak korban S, Haposan menilai penuntut umum yang menolak pledoi terdakwa ini sudah seharusnya dilakukan hal tersebut.

“Masa pledoinya minta bebas, semua pembuktian fakta persidangan sudah jelas kan. Malah justru dari awal jaksa kita anggap ada kejanggalan karena menuntut terdakwa ringan sekali,” ujar Haposan di PN Jakarta Utara.
Padahal kata dia, dari awal terdakwa tidak ada inisiatif untuk meminta maaf sampai hari ini. Kalau terdakwa menolak pledoi itu tentu hal yang aneh karena tuntutannya sudah cukup ringan.
Haposan pun berharap kepada mejelis hakim agar melihat kasus ini dengan objektif, supaya dalam putusan vonis minggu depan penuh rasa keadilan.
“Kami keluarga korban berharap majelis hakim dalam putusan punya keberanian, punya pandangan yang objektif supaya bisa menjatuhkan vonis terdakwa diatas tuntutan yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU),” tegas dia.
Haposan juga menambahkan keluarga sangat berharap majelis hakim memiliki keberanian untuk menjatuhkan hukuman berat mengingat tidak ada perdamaian maupun permintaan maaf dari terdakwa kepada pihak keluarga.
Terdakwa juga sudah disarankan oleh majelis hakim agar meminta maaf, namun diabaikan. Terdakwa baru meminta maaf dalam sidang pledoi, dan pihak keluarga menolak permintaan maaf tersebut.
“Makanya, tidak pernah ada permintaan maaf yang sampai disebut oleh majelis hakim itu jangan hanya lips service (omong kosong) kan,” jelas Haposan.
Lalu, dia mengungkapkan terdakwa dituntut menggunakan Pasal 310 Ayat 4 Undang-Undang Republik indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman maksimal enam tahun penjara.
“Jadi, kalau dalam kondisi seperti ini hanya dituntut satu tahun enam bulan, saya rasa terlalu jauh dari rasa keadilan” ucap Haposan.
Akibat peristiwa tabrak lari tersebut, pihak keluarga mengaku sudah kehilangan ayah. Sementara hingga saat ini, terdakwa masih bebas beraktivitas di luar, tidak dilakukan penahanan fisik dan tidak berstatus tahanan kota.
“Kami sangat berharap kepada majelis hakim untuk bisa menjatuhkan vonis yang sesuai agar rasa keadilan pun bisa terpenuhi,” pungkas Haposan.(Herman)













