Oborbangsa.com Enrekang — Penangkapan mantan Kepala Kejaksaan Negeri Enrekang Padeli oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia menjadi titik balik penting yang menegaskan bahwa perkara dugaan korupsi yang menjerat BAZNAS Kabupaten Enrekang sejak awal bukan penegakan hukum yang sah, melainkan rekayasa perkara dan kriminalisasi lembaga zakat.
Hal tersebut ditegaskan oleh Juru Bicara Kuasa Hukum BAZNAS Enrekang, Adhi Bintang, yang menyebut penangkapan Padeli sebagai pembuktian faktual bahwa proses hukum yang dibangun Kejaksaan Negeri Enrekang kala itu berdiri di atas penyalahgunaan kewenangan jabatan.
“Penangkapan Padeli oleh Kejagung membongkar seluruh konstruksi palsu perkara BAZNAS Enrekang. Ini mengonfirmasi apa yang sejak awal kami sampaikan: tuduhan korupsi dana zakat adalah rekayasa yang dipaksakan,” tegas Adhi Bintang.
Menurutnya, sejak tahap penyelidikan hingga penetapan tersangka, perkara tersebut salah alamat secara hukum. Dana zakat yang dikelola BAZNAS bukan dan tidak pernah menjadi keuangan negara, sebagaimana ditegaskan secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Dana zakat bersumber dari masyarakat dan dikelola berdasarkan prinsip syariah, sehingga tidak dapat dikonstruksikan sebagai objek tindak pidana korupsi.
Fakta tersebut semakin terang dalam persidangan praperadilan, di mana tiga orang ahli yang dihadirkan kuasa hukum BAZNAS secara konsisten dan seragam menyatakan bahwa penggunaan rezim hukum korupsi terhadap dana zakat adalah kesalahan fatal, menyesatkan, dan bertentangan dengan hukum positif.
Namun alih-alih menghormati mekanisme kontrol hukum, Kejaksaan Negeri Enrekang justru menghindari praperadilan dengan mempercepat pelimpahan berkas perkara ke pengadilan tipidkor PN Makassar. Langkah tersebut dinilai sebagai bentuk kepanikan institusional untuk menutup cacat formil dan materil penyidikan.
“Praperadilan adalah instrumen konstitusional untuk mengontrol penyidikan yang menyimpang. Ketika Kejari Enrekang memilih melarikan diri dari praperadilan, itu menandakan ada pelanggaran serius yang ingin ditutup,” ujar Adhi.
Kuasa hukum juga menyoroti peran oknum Inspektorat Daerah yang menerbitkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) tanpa kewenangan hukum. Inspektorat daerah tidak memiliki otoritas melakukan audit terhadap dana zakat, namun LHP tersebut dipaksakan menjadi alat bukti utama dalam perkara ini.
“LHP itu bukan hanya cacat hukum, tetapi ilegal. Audit dana zakat tidak berada dalam domain inspektorat daerah. Ini adalah pintu masuk kriminalisasi yang dirancang secara sadar,” tambahnya.
Lebih jauh, penangkapan Padeli menguatkan dugaan adanya kolaborasi kekuasaan dengan oknum petinggi Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan yang pada saat bersamaan kalah itu menjabat sebagai Penjabat Sementara Bupati Enrekang. Kolaborasi tersebut diduga menjadikan BAZNAS sebagai target untuk dihancurkan melalui instrumen hukum. Pola ini dinilai sebagai bentuk abuse of power yang mencederai prinsip negara hukum dan merusak kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.
“Dalam waktu dekat, mantan Penjabat Bupati tersebut akan kami laporkan atas dugaan kerja sama dengan Padeli dalam menjalankan praktik kotor terhadap hukum,” kecam Adhi.
Kuasa Hukum BAZNAS Enrekang mendesak agar seluruh proses hukum terhadap pengurus BAZNAS segera dihentikan, dilakukan evaluasi menyeluruh, serta pemulihan nama baik terhadap lembaga zakat yang telah dirusak oleh rekayasa perkara. Selain itu, seluruh pihak yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban pidana dan etik.
“Penangkapan Padeli adalah alarm keras bagi penegakan hukum. Negara tidak boleh membiarkan lembaga agama dijadikan korban pesanan politik dan ambisi kekuasaan. Hukum harus dikembalikan ke rel konstitusi,” pinta Adhi Bintang.
Ia juga menegaskan agar Kejaksaan Agung RI tidak melindungi Padeli dengan membelokkan perkara ini seolah-olah sekadar isu suap menyuap. Fakta yang terungkap menunjukkan pola intimidasi, pemerasan, dan kriminalisasi yang dilakukan secara aktif dengan penyalahgunaan kewenangan jabatan.
“Dalam perkara BAZNAS Enrekang, Padeli bukan penerima suap pasif. Ia adalah aktor aktif yang menggunakan ancaman hukum, tekanan psikologis, serta rekayasa penyidikan untuk memaksa penyerahan uang dan mengancam menghancurkan lembaga zakat,” tegasnya.
Lebih jauh, Adhi mengungkap bahwa isu pemerasan yang dilakukan Padeli selama menjabat di Kabupaten Enrekang sesungguhnya telah berlangsung lama. Hampir seluruh Organisasi Perangkat Daerah hingga kepala desa disebut kerap mengalami praktik permintaan “jatah” dengan ancaman hukum melalui suruhan-suruhan tertentu.
“Oleh karena itu, kami meminta Kejaksaan Agung memeriksa seluruh dugaan pemerasan Padeli, bukan hanya yang berkaitan dengan BAZNAS. Ini demi keadilan dan pemulihan marwah hukum,” tutup Adhi Bintang.













