Oleh: Aulia Halsa
Fouder Pajak Literasi
OBORBANGSA.COM, JAKARTA – Indonesia kembali tercoreng. Bukan oleh orang sembarangan, melainkan oleh sosok yang selama ini dielu-elukan sebagai “muka baru” dalam kabinet Jokowi, Nadiem Makarim. Pendiri Gojek ini dulu hadir dengan wajah segar, penuh jargon perubahan, dan narasi modernisasi pendidikan melalui program “Merdeka Belajar”. Namun hari ini, wajah itu retak, ditelan oleh kenyataan pahit: ia ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi laptop Chromebook senilai Rp 9,9 triliun.
Angka itu bukan sekadar besar, tetapi mencerminkan watak rakus segelintir elit yang menjadikan pendidikan ladang basah untuk mengeruk keuntungan. Di tengah kelas-kelas yang roboh, guru honorer yang masih menjerit dengan gaji tak sampai UMR, dan murid yang bahkan membeli buku saja sulit, miliaran rupiah justru digelontorkan untuk proyek laptop yang sejak awal penuh tanda tanya. Kini, tanda tanya itu sudah terjawab. Uang rakyat kembali dirampok, kali ini dengan baju kebijakan pendidikan.
Wajah Palsu Sang Menteri Startup
Sejak awal, kehadiran Nadiem di dunia birokrasi sebenarnya adalah eksperimen politik Jokowi. Seorang anak muda, berlatar dunia digital, diharapkan membawa semangat baru. Namun, apa yang terjadi? Program-programnya penuh jargon, jauh dari akar masalah pendidikan. Kampus Merdeka, Sekolah Penggerak, hingga Platform Digital hanyalah parade istilah yang indah di atas kertas, tetapi rapuh di lapangan.
Kasus laptop Rp 9,9 triliun ini adalah puncaknya. Nadiem, yang dulu dielu-elukan karena keberaniannya meninggalkan kursi empuk di dunia startup untuk mengabdi, kini memperlihatkan wajah lain: wajah seorang pejabat yang tak berbeda dengan koruptor lain. Kata-kata manis tentang inovasi hanya menjadi tirai untuk menutupi kerakusan.
Mari kita jujur, publik tidak butuh laptop murahan yang harganya dipatok jauh di atas kualitasnya. Publik butuh ruang kelas yang tidak bocor, buku yang tidak ketinggalan zaman, guru yang dihargai, dan akses pendidikan yang merata. Tetapi di bawah kepemimpinan Nadiem, prioritas justru diarahkan pada proyek raksasa yang lebih menguntungkan vendor daripada murid.
Korupsi sebagai Warisan Politik Pendidikan
Kasus ini membuka luka lama: bahwa setiap program pendidikan skala nasional selalu rawan dikorupsi. Dulu kita mengenal “BOS Gate”, buku fiktif, hingga pengadaan seragam sekolah. Kini, giliran laptop. Apakah kita harus menunggu proyek lain tablet, aplikasi digital, atau kurikulum baru untuk menjadi skandal berikutnya?.
Korupsi di sektor pendidikan adalah pengkhianatan paling keji. Sebab uang yang dirampok bukan sekadar angka dalam APBN, melainkan masa depan anak-anak bangsa. Setiap rupiah yang dicuri berarti satu murid kehilangan kursi layak, satu guru kehilangan haknya, dan satu sekolah tetap terjebak dalam keterbelakangan. Dan jika benar terbukti, maka Nadiem telah meninggalkan jejak kelam: menteri muda yang katanya progresif, ternyata masuk barisan klasik pejabat rakus.
Jangan Lagi Berlindung di Balik Asas Praduga
Memang benar, hukum mengenal asas praduga tak bersalah. Namun, penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung bukan perkara kecil. Ini bukan gosip, melainkan hasil penyidikan panjang. Maka, sudah saatnya publik bersikap tegas: tidak ada lagi ruang toleransi bagi pejabat yang mempermainkan uang rakyat.
Mereka yang membela dengan alasan “Nadiem masih muda, masih punya idealisme” justru sedang memperpanjang budaya permisif terhadap korupsi. Koruptor tidak bisa dibela dengan usia, niat, atau latar belakang startup. Koruptor adalah koruptor. Dan rakyat sudah terlalu sering menjadi korban.
Pendidikan Butuh Teladan, Bukan Pengkhianat
Anak-anak sekolah hari ini belajar dari buku teks tentang integritas, kejujuran, dan pengabdian. Tetapi apa yang mereka lihat di televisi? Menteri pendidikan mereka ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Apa yang akan dipelajari murid dari kenyataan ini? Bahwa menjadi pintar tidak penting, selama bisa mencari celah merampok anggaran? Bahwa pejabat bisa berpidato indah tentang moral, lalu bermain kotor di belakang meja?
Kasus ini telah merobek teladan yang seharusnya dijaga. Pendidikan tidak lagi berdiri di atas idealisme, melainkan di atas panggung kepura-puraan. Murid kita akan tumbuh dengan rasa curiga, bahwa setiap kebijakan besar hanyalah proyek terselubung. Dan ini, bagi bangsa, lebih berbahaya daripada kerugian Rp 9,9 triliun.
Alarm untuk Bangsa
Kasus Nadiem harus menjadi alarm keras. Bukan hanya soal individu, tetapi juga sistem. Anggaran pendidikan yang 20% dari APBN selalu jadi rebutan, dan selama sistem pengawasan lemah, ia akan terus menjadi bancakan. Kita butuh reformasi total dari perencanaan, pengadaan, hingga pengawasan publik.
Jika tidak, maka wajah pendidikan Indonesia akan selalu kotor, berganti-ganti aktor, tetapi tetap dengan naskah yang sama: rakyat dirampok, masa depan digadaikan.
Dan untuk Nadiem, sejarah akan mencatat: engkau bukan menteri muda yang membawa perubahan, melainkan menteri muda yang meninggalkan noda.
Rakyat Harus Berani Bicara Kebenaran
Kita tidak bisa lagi hanya jadi penonton yang pasrah. Korupsi di pendidikan bukan sekadar skandal elit, melainkan perampasan hak generasi kita. Jika hari ini kita diam, maka besok anak-anak kita akan tumbuh dalam sistem yang busuk.
Rakyat harus bersuara lebih lantang. Akademisi harus menolak dijadikan stempel kebijakan kosong. Guru harus berani bicara bahwa mereka lelah dipermainkan. Mahasiswa harus turun ke jalan, sebab masa depan mereka dipertaruhkan. Dan orang tua harus sadar: setiap rupiah yang dikorupsi berarti satu pintu masa depan anak mereka ditutup.
Bangsa ini tidak akan maju jika pendidikan terus dipermainkan. Mari kita jadikan kasus Nadiem sebagai titik balik, bukan sekadar episode baru dalam sinetron korupsi yang tak ada habisnya. (Red).