Oleh: Yana Karyana
Pemerhati Pendidikan dan Aktivis Sosial Keagamaan
Kesejahteraan guru di Indonesia sejak lama menjadi paradoks. Di satu sisi, profesi guru ditempatkan pada posisi mulia, digugu lan ditiru, panutan moral dan agen pembentuk karakter bangsa. Namun, di sisi lain, tak sedikit guru, khususnya guru madrasah dan guru agama, justru hidup dalam kondisi yang jauh dari sejahtera.
Potret muram itu masih terlihat di banyak daerah. Seorang guru madrasah hanya menerima honor Rp300 ribu per bulan, jumlah yang tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Banyak di antara mereka terpaksa menyambi sebagai pengemudi ojek daring, pedagang kecil, bahkan pemulung.
Lebih memilukan lagi, guru ngaji di pelosok kerap bergantung pada infak seadanya dari masyarakat. Situasi ini memperlihatkan jurang yang lebar antara penghormatan simbolik terhadap guru dan penghargaan material yang mereka terima.
Perubahan Arah Kebijakan
Tiga tahun terakhir, arah kebijakan mulai bergeser. Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Menteri Agama Nasaruddin Umar, sejumlah langkah konkret dilakukan. Kebijakan pengangkatan guru honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), peningkatan peserta Pendidikan Profesi Guru (PPG), serta penyaluran insentif dan tunjangan lebih terstruktur, menjadi tonggak penting perubahan itu.
Data Kementerian Agama memperlihatkan lonjakan signifikan. Pada 2023 hanya tersedia 2.296 formasi PPPK guru. Jumlah itu melonjak menjadi 89.781 formasi pada 2024, dan mencapai 191.296 formasi pada 2025. Lebih dari 52 ribu guru honorer telah diangkat menjadi PPPK dalam periode tersebut.
Yang menarik, kebijakan ini bersifat inklusif. Tidak hanya guru Pendidikan Agama Islam (PAI), tetapi juga guru Agama Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha turut mendapat ruang. Sejak 2021, sedikitnya 27.303 formasi PPPK guru agama disediakan dengan komposisi: 22.927 guru Agama Islam, 2.727 guru Agama Kristen, 1.207 guru Agama Katolik, 403 guru Agama Hindu, dan 39 guru Agama Buddha. Disini negara hadir untuk semua agama tanpa diskriminasi.
Profesionalisasi Guru
Transformasi lain tampak pada pelaksanaan PPG. Tahun 2023 tercatat sekitar 20 ribu peserta, meningkat menjadi hampir 30 ribu pada 2024, lalu melesat menjadi 206 ribu lebih pada 2025. Dari jumlah itu, 43.709 merupakan guru madrasah, 21.832 guru PAI di sekolah umum, serta ribuan guru agama dari denominasi lain. Tingkat kelulusan PPG madrasah bahkan mencapai 99,35 persen.
Langkah ini mengoreksi stagnasi bertahun-tahun akibat tarik-ulur kewenangan anggaran antara daerah dan Kementerian Agama. Banyak guru agama di sekolah umum dulu terpinggirkan dalam program sertifikasi. Terobosan Menteri Agama Nasaruddin Umar dalam Upaya mempercepat pelaksanaan PPG, menyederhanakan mekanisme pembiayaan, dan memperluas akses, menjadi kunci penyelesaian masalah itu.
Cerita Ibu Rosmiyati, guru PAI di sebuah SMP negeri di Banten, memberi ilustrasi nyata. Selama lebih dari 15 tahun ia mengajar tanpa pernah bisa mengikuti PPG karena keterbatasan kuota. Pada 2025, ia akhirnya lolos sebagai peserta PPG dan berhak menerima tunjangan profesi.
“Saya merasa perjuangan saya dihargai. Tidak lagi harus pasrah dengan gaji minim,” katanya. Kisah ini adalah representasi ribuan guru lain yang kini mendapat harapan baru.
Kesejahteraan Perlahan Lebih Nyata
Dari sisi finansial, pemerintah menambah alokasi insentif dan tunjangan. Tahun 2023, angkanya sekitar Rp5,1 triliun. Naik menjadi Rp6,2 triliun pada 2024, lalu mencapai Rp7,25 triliun pada 2025. Dengan dana tersebut, lebih dari 243 ribu guru non-ASN Raudhatul Athfal (RA) dan madrasah swasta menerima tunjangan tetap Rp250 ribu per bulan atau Rp3 juta per tahun.
Jumlah itu memang belum besar, tetapi memberi sinyal penting, negara mulai mengurangi kesenjangan antara guru ASN dan non ASN. Guru honorer tidak lagi sepenuhnya bergantung pada belas kasihan masyarakat, melainkan memiliki pengakuan formal dari negara sebagai tenaga pendidik.
Jalan Panjang
Apakah langkah ini cukup? Jawabannya, belum. Kesejahteraan guru tidak berhenti pada angka insentif atau status PPPK. Ia harus diikuti perbaikan ekosistem pendidikan, mulai dari kurikulum, peningkatan kapasitas dan kualitas, hingga dukungan sosial yang memungkinkan guru fokus pada tugas utama yaitu mendidik.
Namun, arah perubahan ini patut diapresiasi. Transformasi dari guru sebagai “pekerja murah” menuju guru yang bermartabat dan profesional adalah capaian penting. Ke depan, konsistensi dan keberlanjutan kebijakan menjadi kunci. Jangan sampai peningkatan formasi PPPK dan PPG berhenti sebagai program sesaat, melainkan harus berlanjut sebagai agenda nasional jangka panjang.
Penutup
Pada akhirnya, penghargaan terhadap guru bukan semata-mata soal gaji, tunjangan, atau status kepegawaian, melainkan penghormatan terhadap martabat profesi yang menjadi fondasi pembangunan bangsa. Guru madrasah dan guru agama telah lama mengabdikan diri di garis depan pendidikan akhlak dan spiritual, bahkan dalam kondisi serba terbatas. Kini, dengan adanya penguatan kebijakan pemerintah, perlahan mereka mulai merasakan pengakuan yang lebih nyata dari negara.
Perubahan ini tentu bukan titik akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang menuju kesejahteraan yang berkeadilan. Konsistensi, pemerataan, dan keberlanjutan kebijakan menjadi syarat mutlak agar transformasi tidak berhenti. Jika keberpihakan ini terus dirawat, maka guru madrasah dan guru agama bukan lagi identik dengan kemiskinan dan keterpinggiran, tetapi dengan kehormatan, profesionalisme, dan kesejahteraan yang layak. Pada gilirannya, bangsa ini akan menuai hasil, pendidikan yang lebih bermutu, karakter yang lebih kuat, dan masa depan yang lebih beradab.***